Selain mempermudah komunikasi, internet dan media sosialisasi lainnya sedang ngetren dan saat ini juga membantu para kriminalitas melakukan hajat mereka. Hari-hari dengan facebook misalnya, dihiasi dengan berita-berita penyalahgunaan foto dan lain sebagainya. Pelakunya tak lain adalah salah satu teman virtual yang telah kita add. Dengan mengamati foto-foto dan update status, dengan mudah bisa diketahui berbagai hal yang behubungan dengan kita seperti pakaian dan pergaulan sosial, tempat liburan yang dikunjungi, rutinitas sehari-hari dan lain sebagainya.
Sebagian kriminalitas tersebut sebetulnya bisa dicegah karena memanfaatkan informasi yang diterbitkan oleh kita sendiri, terutama meng-upload foto-foto yang kita miliki. Agar orang jahat tidak tahu banyak tentang kita, tinggal berhenti saja sembarang mem-posting informasi sensitif. Sederhana?
Menyenangkan memang rasanya mempublish foto-foto yang kita miliki di facebook, karena dengan foto tersebut kita bisa saling mengenal satu sama lain tanpa harus bertemu secara langsung. Di lain pihak, terkadang kita tidak peduli membuka segala aspek tentang diri kita bagi publik. Foto-foto yang di posting ini dengan mudahnya bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Tapi begitulah, kita dengan bangganya meneruskan living in public tanpa peduli apakah semua teman yang telah di-add atau teman yang meng-add kita sebagai teman benar-benar menginginkan kita sebagai teman. Nyatanya, sebagian dari teman virtual tersebut justru mencari-cari hal dari kita yang bisa di jadikan bahan ejekan, tertawaan, dan hal lainnya yang terkadang membuat sang korban menjadi merasa dipermalukan dan tentunya tidak nyaman.
Saya sendiri pernah merasa sangat tidak nyaman atas penyalahgunaan foto yang telah saya posting di facabook. Walau masih dalam batas yang masih bisa ditoleransi alias masih dalam skala wajar (kedepannya gak tahu jika hal ini terjadi lagi di luar batas toleransi). Saya sebagai orang yang introvert terkadang mudah tersinggung, akan tetapi tidak dengan blak-blakan mengekspresikannya di depan teman-teman karena dalam pikir saya hal seperti itu tidak perlu diambil hati dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan waktu. Meski kenyataannya tidak.
Jika diperhatikan foto yang ada di samping, memang tidak ada yang aneh atau ada hal yang harus di perkarakan. Tapi lain saya, lain orang lain. Saya tidak sangat suka effort yang kayak gini di-publish (terutama kepada sang maker). Coba perhatikan, di antara foto tersebut ada gambar “Love”-nya dengan tulisan di dalamnya. Gambar itulah yang membuat saya merasa tidak nyaman! Awalnya saya tidak tahu siapa orang di sebelah kiri foto ini, tapi belakangan ini saya sudah tahu kalau dia adalah senior saya, satu jurusan dengan saya. Dan saya lebih tidak tahu lagi siapa sang maker foto ini karena saya belum berteman dengan dia di facebook.
Pertama kali saya melihat foto ini dari salah seorang teman di facebook yang di-tag oleh sang maker foto untuknya, saya pun langsung meng-add sang pemilik foto ini sebagai teman supaya saya bisa comment di bawah foto tersebut. Sepertinya sang pemilik foto ini sangat tidak sabar menantikan comment dari saya, karena hanya dalam beberapa detik kemudian saya sudah di-approve sebagai teman. Konstan, saya pun langsung comment seperti ini “Orang yang di sebelah kiri itu dari planet mana sih? Kok fotonya sangat tidak manusiawi gitu ya?” Lanjut “I have no idea with your picture. You guy inform me or joke me? Whatever!” Ternyata comment saya yang pertama menimbulkan masalah, ada yang tidak senang alias marah. Berikut adalah comment-comment setelah saya :
“@roy....pemai.......mo suka maen catur ngana p gigi...?” (@roy, kurang ajar, suka gigi kamu dipakai main catur?). “awas ta dapa p ngana...dari planet mana...??? dari planet tu mo kase ancor p ngana...............” (awas ya kalau saya ketemu sama kamu. Dari planet mana? saya planet yang akan bikin kamu babak belur). “bkng esmosi ini....cm mo se rasa p dia tu pukulan dari planet............” (Bikin emosi, cuma mau kasih tahu bagaimana rasanya pukulan dari planet …..).
Awalnya saya pikir kalau mereka itu punya selera humor yang tinggi, kenyataannya tidak demikian jika dilihat dari comment-comment di atas. Seandainya saja comment tersebut di atas benar-benar terealisasi di dunia nyata, maka sang maker foto ini harus bertanggung jawab karena dia adalah sumber masalahnya. Agar masalahnya tidak menjadi semakin rumit, saya dengan segera me-remove mereka dari daftar teman di facebook termasuk segera menghapus semua comment yang telah saya tulis. Kita kan tidak pernah tahu kalau masalah yang awalnya hanya menggelepak-gelepak berubah menjadi badai yang sistematis.
Saya masih bertanya-tanya dalam hati respon seperti apa yang diharapkan oleh sang maker foto ini dari sejumlah orang yang telah di-tag olehnya! Saya sendiri masih sangat berharap orang yang melihat foto ini tidak berpikir yang tidak-tidak bahwa orang dalam foto tersebut adalah “Whore-son-bitch”. Itu pasti lebih menyakitkan lagi. Mungkin saja sang maker foto ini sedang menekuni studi pencintraan wajah, karena saking begitu semangatnya sampai-sampai lupa kalau hasil dari studinya ada yang tidak suka atau merasa tersinggung. Atau sang maker foto ini lagi gak tahu mau bikin apa, jadinya untuk mengisi kekosongan itu, ia melakukan studi komparasi wajah secara illegal dengan teman-teman facebook sebagai objek penelitiannya. Memang benar kata Eric Hofler bahwa an empty head is not really empty; it is stuffed with rubbish. Hence the difficulty of forcing anything into an empty head. Termasuk kesulitan memasukkan kedalam kepala hal-hal yang baik seperti ilmu pengetahuan.
Berbagai teori bisa dikemukakan untuk menjelaskan kelakuan kita sebagai pengguna situs jejaring sosial. Misalnya bahwa setiap orang dari kita sebetulnya selalu haus perhatian, dan bermimpi jadi selebriti. Atau teori signalling, dimana orang memang merasa perlu untuk membuat orang lain tahu tentang status sosialnya, kemampuan, kekayaan, kepintaran, kehebatan dan keberanian, karena sinyal ini akan memberikan keuntungan kepada si pembuat sinyal, jika sinyalnya diterima orang-orang yang tepat. Hal yang sebaliknya akan terjadi jika sinyalnya diterima oleh orang-orang yang tidak tepat kayak sang maker foto yang geje dan sotoy itu. Harus bagaimana lagi, seperti itulah situs jejaring social seperti facebook dan situs jejaring social lainya, hitam dan putih bagaikan mata rantai yang saling mengikat.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa saya adalah orang yang introvert sedangkan dunia ini dihuni lebih dari setengah orang-orang yang extrovert. Para extrovert memang selalu ingin berinteraksi dengan orang lain, menjadi pusat perhatian, ingin bertemu kenalan baru, dan juga lebih terbuka tentunya. Jika mayoritas populasi adalah introvert seperti saya, barangkali kita tidak akan pernah tahu bahwa ada seorang pemuda jenius bernama Mark Zuckerberg (bukan sang maker foto yang norak itu loh).
*******
Sebagian kriminalitas tersebut sebetulnya bisa dicegah karena memanfaatkan informasi yang diterbitkan oleh kita sendiri, terutama meng-upload foto-foto yang kita miliki. Agar orang jahat tidak tahu banyak tentang kita, tinggal berhenti saja sembarang mem-posting informasi sensitif. Sederhana?
Menyenangkan memang rasanya mempublish foto-foto yang kita miliki di facebook, karena dengan foto tersebut kita bisa saling mengenal satu sama lain tanpa harus bertemu secara langsung. Di lain pihak, terkadang kita tidak peduli membuka segala aspek tentang diri kita bagi publik. Foto-foto yang di posting ini dengan mudahnya bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Tapi begitulah, kita dengan bangganya meneruskan living in public tanpa peduli apakah semua teman yang telah di-add atau teman yang meng-add kita sebagai teman benar-benar menginginkan kita sebagai teman. Nyatanya, sebagian dari teman virtual tersebut justru mencari-cari hal dari kita yang bisa di jadikan bahan ejekan, tertawaan, dan hal lainnya yang terkadang membuat sang korban menjadi merasa dipermalukan dan tentunya tidak nyaman.
Saya sendiri pernah merasa sangat tidak nyaman atas penyalahgunaan foto yang telah saya posting di facabook. Walau masih dalam batas yang masih bisa ditoleransi alias masih dalam skala wajar (kedepannya gak tahu jika hal ini terjadi lagi di luar batas toleransi). Saya sebagai orang yang introvert terkadang mudah tersinggung, akan tetapi tidak dengan blak-blakan mengekspresikannya di depan teman-teman karena dalam pikir saya hal seperti itu tidak perlu diambil hati dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan waktu. Meski kenyataannya tidak.
Jika diperhatikan foto yang ada di samping, memang tidak ada yang aneh atau ada hal yang harus di perkarakan. Tapi lain saya, lain orang lain. Saya tidak sangat suka effort yang kayak gini di-publish (terutama kepada sang maker). Coba perhatikan, di antara foto tersebut ada gambar “Love”-nya dengan tulisan di dalamnya. Gambar itulah yang membuat saya merasa tidak nyaman! Awalnya saya tidak tahu siapa orang di sebelah kiri foto ini, tapi belakangan ini saya sudah tahu kalau dia adalah senior saya, satu jurusan dengan saya. Dan saya lebih tidak tahu lagi siapa sang maker foto ini karena saya belum berteman dengan dia di facebook.
Pertama kali saya melihat foto ini dari salah seorang teman di facebook yang di-tag oleh sang maker foto untuknya, saya pun langsung meng-add sang pemilik foto ini sebagai teman supaya saya bisa comment di bawah foto tersebut. Sepertinya sang pemilik foto ini sangat tidak sabar menantikan comment dari saya, karena hanya dalam beberapa detik kemudian saya sudah di-approve sebagai teman. Konstan, saya pun langsung comment seperti ini “Orang yang di sebelah kiri itu dari planet mana sih? Kok fotonya sangat tidak manusiawi gitu ya?” Lanjut “I have no idea with your picture. You guy inform me or joke me? Whatever!” Ternyata comment saya yang pertama menimbulkan masalah, ada yang tidak senang alias marah. Berikut adalah comment-comment setelah saya :
“@roy....pemai.......mo suka maen catur ngana p gigi...?” (@roy, kurang ajar, suka gigi kamu dipakai main catur?). “awas ta dapa p ngana...dari planet mana...??? dari planet tu mo kase ancor p ngana...............” (awas ya kalau saya ketemu sama kamu. Dari planet mana? saya planet yang akan bikin kamu babak belur). “bkng esmosi ini....cm mo se rasa p dia tu pukulan dari planet............” (Bikin emosi, cuma mau kasih tahu bagaimana rasanya pukulan dari planet …..).
Awalnya saya pikir kalau mereka itu punya selera humor yang tinggi, kenyataannya tidak demikian jika dilihat dari comment-comment di atas. Seandainya saja comment tersebut di atas benar-benar terealisasi di dunia nyata, maka sang maker foto ini harus bertanggung jawab karena dia adalah sumber masalahnya. Agar masalahnya tidak menjadi semakin rumit, saya dengan segera me-remove mereka dari daftar teman di facebook termasuk segera menghapus semua comment yang telah saya tulis. Kita kan tidak pernah tahu kalau masalah yang awalnya hanya menggelepak-gelepak berubah menjadi badai yang sistematis.
Saya masih bertanya-tanya dalam hati respon seperti apa yang diharapkan oleh sang maker foto ini dari sejumlah orang yang telah di-tag olehnya! Saya sendiri masih sangat berharap orang yang melihat foto ini tidak berpikir yang tidak-tidak bahwa orang dalam foto tersebut adalah “Whore-son-bitch”. Itu pasti lebih menyakitkan lagi. Mungkin saja sang maker foto ini sedang menekuni studi pencintraan wajah, karena saking begitu semangatnya sampai-sampai lupa kalau hasil dari studinya ada yang tidak suka atau merasa tersinggung. Atau sang maker foto ini lagi gak tahu mau bikin apa, jadinya untuk mengisi kekosongan itu, ia melakukan studi komparasi wajah secara illegal dengan teman-teman facebook sebagai objek penelitiannya. Memang benar kata Eric Hofler bahwa an empty head is not really empty; it is stuffed with rubbish. Hence the difficulty of forcing anything into an empty head. Termasuk kesulitan memasukkan kedalam kepala hal-hal yang baik seperti ilmu pengetahuan.
Berbagai teori bisa dikemukakan untuk menjelaskan kelakuan kita sebagai pengguna situs jejaring sosial. Misalnya bahwa setiap orang dari kita sebetulnya selalu haus perhatian, dan bermimpi jadi selebriti. Atau teori signalling, dimana orang memang merasa perlu untuk membuat orang lain tahu tentang status sosialnya, kemampuan, kekayaan, kepintaran, kehebatan dan keberanian, karena sinyal ini akan memberikan keuntungan kepada si pembuat sinyal, jika sinyalnya diterima orang-orang yang tepat. Hal yang sebaliknya akan terjadi jika sinyalnya diterima oleh orang-orang yang tidak tepat kayak sang maker foto yang geje dan sotoy itu. Harus bagaimana lagi, seperti itulah situs jejaring social seperti facebook dan situs jejaring social lainya, hitam dan putih bagaikan mata rantai yang saling mengikat.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa saya adalah orang yang introvert sedangkan dunia ini dihuni lebih dari setengah orang-orang yang extrovert. Para extrovert memang selalu ingin berinteraksi dengan orang lain, menjadi pusat perhatian, ingin bertemu kenalan baru, dan juga lebih terbuka tentunya. Jika mayoritas populasi adalah introvert seperti saya, barangkali kita tidak akan pernah tahu bahwa ada seorang pemuda jenius bernama Mark Zuckerberg (bukan sang maker foto yang norak itu loh).
*******